Seperti tetes-tetes air yang mendinginkan kerak bebatuan yang cadas dan keras. Kesan batin inilah bila kita membuka-buka halaman buku tasawuf. Belajar Tasawuf memang tidak menjanjikan kesaktian dan kekuatan badan. Ia juga tidak menjanjikan satu cara agar mendapatkan kekayaan, kekuasaan dan kedigdayaan di dunia. Namun, dari tasawuf kita mendapatkan bekal agar mampu merangkai sesuatu yang berserak di batin, dan selanjutnya bisa menggerakkan kita agar bersiap diri untuk sebuah perjumpaan dengan Tuhan Yang Maha Melihat.
Betapa kering hidup ini bila kita hanya berkutat pada aturan, pada hukum, pada syariat. Namun tidak pernah menyelami samudra hakikat dari hukum syariat tersebut. Syariat itu dibuat tidak hanya untuk ditaati, namun pasti jelas ada tujuannya. Syariat mengharuskan seseorang muslim untuk sholat, namun apa tujuan sholat. Inilah saat kita memasuki wilayah hakikat dan kemudian tujuan sholat ditemukan yaitu bersujudnya “diri” kepada DIRI YANG MAHA SEJATI. Secara otomatis, bila kita bersujud kepada DIRI SEJATI, maka kita diharapkan untuk selalu menyatu dan dekat dengan iradat-NYA, kehendak-NYA. Dalam terminologi agama dikatakan sebagai TAKWA.
Dalam sebuah perjalanan spiritual menuju DIRI YANG MAHA SEJATI, setidaknya kita membutuhkan bekal yaitu pengetahuan sebab perjalanan itu adalah perjalanan yang orientasinya tidak ke luar, namun ke dalam diri. Kita tidak membutuhkan jutaan kilometer jarak tempuh perjalanan dengan kaki dan peluh yang bercucuran, namun yang kita perlukan adalah milyaran kehendak baik di dalam diri untuk selalu ingin berbuat kebajikan. Serta trilyunan perilaku sekecil apapun yang luhur. Inilah sesungguhnya perjalanan batin yang orientasinya hanya agar DIA mendekat menjadi ENGKAU dan kemudian dekat-sedekat-dekatnya menjadi AKU DIRI SEJATI.
Perjalanan mendekati-DIA menjadi AKU inilah yang menjadi fokus tasawuf Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khatabi Al Bakri, nama lengkap Jalaluddin Rumi. Rumi dilahirkan di Balch Persia pada tahun 604 H atau 1217 Masehi dan meninggal dunia pada tahun 672 H atau 1273 Masehi. Saat usia empat tahun, dia ajak sang ayah ke Asia Kecil (negeri Rum) sehingga dia memakai nama Rumi.
Ajaran tasawufnya tersimpan dalam karya-karya agung, di antaranya Matsnawi yang terdiri dari 20.700 bait syair yang dirangkum dalam enam jilid. Pendirian tasawufnya berdasarkan atas Wihdatul Wujud. Inilah sari tasawuf Rumi:
Karamlah aku di dalam rindu Mencari Dia, mendekati Dia Dan telah tenggelam pula Nenekku dulu, dan yang kemudian mengikut pula Kalau kukatakan bibirnya Itulah ibarat bibir dari bibir pantai lautan Yang luas tak tentu tepinya Dan jika aku katakan Laa, cucuku adalah Illa
Aku tertarik bukan oleh huruf Dan bukan pula oleh suara Makin jauh di belakang dari yang didengar dan diketahui
Apa huruf, apa suara, apa guna kau pikirkan itu Itu hanya duri yang menyangkut di kakimu Di pintu gerbang taman indah itu Kuhapus kata, huruf dan suara Dan aku langsung menuju ENGKAU
Rumi melanjutkan:
Nyanyian bagiku, wahai harapanku, nyanyian nusyur Runduklah unta dan berhentilah Sekarang timbul rasa bahagia dan surur Telanlah ya bumi, air mata cukuplah Minumlah hai jika, air mawar yang suci Engkau kembali, hai hari rayaku Selamat datang ya marhaban Alangkah sejuknya engkau, hari yang sepoi
Dan kata Rumi lagi, mengibaratkan Tuhan memanggil kita pulang:
Marilah ke mari, marilah.. Sebab engkau tak akan mendapat sahabat laksana AKU Manakah kecintaan seperti cinta KU, dalam wujud ini Marilah ke mari, marilah… Jangan kau habiskan umurmu dalam ragu-ragu Tidak ada pasaran bagi hartamu Kau adalah lembah yang kering, AKU-lah hujan Kau adalah kota yang telah runtuh, AKU-lah pembangun Kalau tidak ada pengabdian manusia atas-KU, tidaklah mereka akan bahagia Pengabdian mutlak adalah Matahari kebahagiaan
Rumi memiliki jawaban atas pertanyaan manusia sebagai berikut:
Kita mendengar suara setiap waktu Dari utara, dari selatan, panggilan.. Inilah kami! Terbang menuju bintang Sebab kita dulu datang dari bintang Dan berteman karib dengan malaikat Dari sana kita datang, bahkan kita lebih tinggi dari bintang Kita pulang! Kita pulang! Lebih baik dari Malaikat, mengapa tidak akan kita atasi? Tempat kita adalah di Maha Kebesaran
Apa artinya alam bumi bagi diri yang suci? Kita pulang! Kita pulang! Dan jika terjatuh lagi, tempat kita bukan di sini Datanglah empasan ombak Hancurlah bahtera badan Itulah saat pertemuan…..
Hakikat hidup adalah CINTA, Rumi menyimpulkan tujuan perjalanan mendekati-NYA:
Aku tak kenal lagi siapa diriku Tubuhku, tunjuki aku apa dayaku Bukan bulan sabit dan bukan pula kayu palang Bukan aku kafir dan bukan Yahudi Bukan di timur bukan di barat tanah asalku Tak ada keluarga, baik malaikat atau pun jin Geligaku bukan dari bumi dan bukan batu karang Bukan dari benua Cina bukan dari yang lain Bukan dari Bulgaria tanah lahirku, Bukan.. Bukan dari Irak, bukan Khurasan Bukan dari India dengan sungainya yang lima Bukan disini dan bukan di sana Bukan di surga bukan di neraka, wathan asalku Aku juga bukan orang usiran dari surga Adam atau lembah Yazhan Bukan dari Adam aku mengambil nasabku, Tetapi dari satu tempat… alangkah jauh Jalan yang sunyi sepi tiada bertanda Aku lepaskan diriku dari tubuhku dan nyawaku Dan aku telah menempuh hidup baru Dalam nyawa KECINTAANKU
Demikian sekelumit tasawuf Rumi yang menyejukkan tersebut. Semoga ada manfaatnya bagi kita yang selama ini berada di dalam ombak lautan dunia fana dan terombang ambing dalam kebimbangan menentukan jalan hidup sejati.